JejakRetorika.Com - Kabar yang mengguncang datang dari Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Pada 5 Agustus 2025, Pengadilan Negeri Pariaman menjatuhkan vonis hukuman mati kepada IS, atau yang lebih dikenal dengan nama “Indragon”.
Nama ini bukan sekadar julukan, melainkan simbol tragedi yang menyayat nurani, mewakili kesedihan mendalam akibat hilangnya nyawa NS, seorang gadis penjual gorengan yang dikenal ramah dan sederhana.
Di ruang sidang, suasana hening seketika berubah menjadi tegang ketika palu hakim diketukkan.
Putusan dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Dedi Kuswara: “Menjatuhkan pidana mati kepada terdakwa IS alias Indragon karena terbukti melakukan pembunuhan berencana.” Kata-kata itu menggetarkan hati, baik bagi keluarga korban yang menanti keadilan, maupun publik yang mengikuti kasus ini sejak awal.
Namun, di balik putusan yang tegas, tersimpan kisah panjang tentang perjalanan kasus yang penuh liku dari tragedi memilukan di lahan perkebunan hingga drama pelarian, dari jerat hukum yang menguatkan tuntutan jaksa hingga upaya banding yang kini disiapkan oleh tim kuasa hukum terdakwa.
Kasus ini bukan sekadar peristiwa kriminal. Ia adalah cermin buram dari sisi gelap manusia, yang tega menghilangkan nyawa demi kepentingan sesaat.
Pertanyaannya: apakah vonis mati ini mampu memberi keadilan yang sesungguhnya, atau sekadar menutup luka yang tak pernah sembuh?
Profil Korban: Gadis Penjual Gorengan yang Disayangi Warga
NS bukanlah figur publik. Ia hanyalah gadis sederhana yang berjuang membantu ekonomi keluarga dengan berjualan gorengan keliling.
Setiap hari, ia mengayuh sepeda menyusuri jalanan Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman. Ramah, sopan, dan pekerja keras itulah kesan yang melekat di hati warga.
Namun, di balik senyum yang selalu ia bawa, tak ada yang menyangka nasib tragis menantinya.
Pada 8 September 2024, NS ditemukan tidak bernyawa di sebuah lahan perkebunan. Kejadian ini menjadi pukulan berat, seakan menjadi saksi bisu tindak kejahatan yang merenggut nyawanya.
Bagi keluarga, kehilangan NS bukan hanya kehilangan anak, tetapi kehilangan harapan. Ibunya bahkan menyebut, “Dia tidak pernah mengeluh. Pagi jualan, sore membantu di rumah. Anak saya tidak pantas berakhir seperti ini.” Kata-kata yang terucap dengan air mata itu menjadi pengingat betapa besar luka yang ditinggalkan.
Profil Pelaku: Dari Residivis ke Tersangka Kasus Berat
IS bukan nama baru dalam catatan kepolisian. Pria berusia 38 tahun ini memiliki riwayat kasus sebelumnya, termasuk pelanggaran hukum yang pernah membuatnya mendekam di balik jeruji besi.
Namun kebebasan tidak membuatnya berubah. Sebaliknya, ia kembali ke jalan gelap dan kali ini, taruhannya adalah nyawa.
Julukan “Indragon” yang melekat padanya mungkin terdengar gagah, tetapi di balik itu ada kisah tentang ego dan perbuatan yang mencoreng nilai kemanusiaan.
Menurut kepolisian, IS merencanakan aksinya setelah mengenal korban. Motifnya diduga berkaitan dengan nafsu dan keinginan menguasai sesuatu yang bukan miliknya.
Ketika berita ini terungkap, publik geger. Bagaimana seorang residivis bisa lepas pengawasan hingga melakukan kejahatan yang lebih serius? Pertanyaan ini menimbulkan perdebatan tentang pengawasan mantan narapidana setelah bebas.
Kronologi Kejadian Lengkap: Dari Dagangan ke Tragedi
Hari itu, 8 September 2024, seperti biasa NS keluar rumah membawa dagangan gorengan. Ia tak pernah kembali. Keluarga mulai panik ketika malam tiba dan ia tak kunjung pulang. Laporan hilang diajukan, dan pencarian dilakukan bersama warga.
Keesokan harinya, pencarian berujung pada penemuan yang menggetarkan: NS ditemukan meninggal dunia di sebuah lahan perkebunan. Penyelidikan polisi mengungkap adanya tanda-tanda tindak kekerasan, yang menguatkan dugaan bahwa korban menjadi sasaran kejahatan serius.
Polisi bergerak cepat. Berdasarkan bukti forensik, keterangan saksi, dan jejak barang bukti, satu nama mengarah jelas: IS. Salah satu barang bukti penting adalah tali rafia yang ditemukan di lokasi.
Setelah peristiwa itu, IS melarikan diri. Ia bersembunyi selama 11 hari, berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain.
Pelarian berakhir dramatis ketika ia ditangkap di atas loteng sebuah rumah kosong pada 19 September 2024. Saat digiring ke kantor polisi, wajahnya tampak tenang, seolah tidak menyesali perbuatannya.
Proses Penyidikan dan Penangkapan: Buron yang Berakhir di Loteng
Selama masa pelarian, polisi membentuk tim khusus. Jejak digital, keterangan warga, dan pengintaian intensif akhirnya menuntun mereka ke persembunyian IS.
Penangkapan dilakukan tanpa perlawanan berarti, tetapi polisi menemukan sejumlah barang bukti yang menguatkan dugaan.
Kasus ini kemudian masuk ke tahap penyidikan mendalam. Fakta demi fakta terkuak, termasuk bahwa IS tidak bertindak spontan, melainkan sudah menyiapkan tali rafia sebagai alat. Unsur perencanaan inilah yang kelak menjadi poin utama jaksa dalam menuntut hukuman mati.
Persidangan: Drama Hukum dan Vonis Berat
Sidang kasus ini digelar di PN Pariaman. Jaksa Penuntut Umum menuntut pidana hukuman mati, yang mengacu pada Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
“Perbuatan terdakwa sangat serius dan tidak ada alasan pemaaf,” ujar JPU Wendry Finisa.
Majelis hakim sependapat.
Dalam amar putusan, hakim menyatakan bahwa bukti yang diajukan, termasuk adanya tali rafia, menguatkan bahwa pelaku sudah ada niat untuk menghilangkan nyawa korban. Vonis pidana mati pun dijatuhkan.
Kuasa hukum IS tidak tinggal diam. Mereka menganggap tuduhan pembunuhan berencana dipaksakan. “Persoalan tali rafia hanya pemaksaan pasal,” kata mereka, seraya menegaskan akan mengajukan banding, bahkan mengupayakan amnesti kepada Presiden.
Reaksi Publik dan Keluarga Korban
Tangis pecah di ruang sidang ketika vonis dibacakan. Ibu korban, dengan mata sembab, berkata lirih, “Setimpal. Nyawa anak saya tak akan kembali, tapi setidaknya ini adil.”
Di luar sidang, publik memberikan respons beragam. Banyak yang mendukung vonis mati, menyebutnya sebagai peringatan keras bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Namun, sebagian aktivis hak asasi manusia kembali menggulirkan perdebatan soal efektivitas hukuman mati.
Kuasa hukum IS telah mengonfirmasi rencana banding. Jika gagal, mereka akan mengajukan permohonan amnesti ke Presiden.
Langkah ini menuai kontroversi, mengingat kasus ini telah menggemparkan publik dan menimbulkan luka mendalam bagi keluarga korban.